Refleksi kali ini merupakan refleksi kedua perkuliahan filsafat oleh Prof. Dr. Marsigit, MA pada selasa, 15 september 2015 pukul 11.10-12.50 di ruang 305B gedung pasca sarjana UNY. Pada refleksi kali ini, saya akan menuliskan mengenai apa yang ada dan yang mungkin ada. Dalam filsafat, kita tentunya tidak asing lagi dengan pernyataan ada dan yang mungin ada. Apa itu ada dan yang mungkin ada? Ada dan yang mungkin ada merupakan objek Filsafat. Lalu bagaimana objek filsafat bisa dikatakan ada dan bagaimana objek filsafat bisa dikatakan yang mungkin ada?
Ada dan yang mungkin ada itu bersifat subjektif. Ada bagi diri seseorang belum tentu ada pada diri orang yang lain. Ada bagi seseorang bisa menjadi yang mungkin ada pada orang yang lain. Ada bagi seseorang juga bisa menjadi ada bagi orang lain. Misalkan: Tanggal lahir A ada bagi A, mungkin ada bagi B jika A hendak akan memberitahu pada B, serta ada bagi B jika A memberi tahu tanggal lahirnya pada B.
Setelah membahas mengenai objek filsafat ada dan yang mungkin ada, kini akan membahas mengenai hakekat belajar filsafat. Hakekat belajar filsafat itu adalah mengadakan dari yang mungkin ada menjadi ada. Secara filsafat belajar itu tidak mempermasalahkan metode belajar apapun yang digunakan. Hal yang penting adalah mengadakan yang mungkin ada menjadi ada bagi siswa. Namun, kita tak akan mampu mengetahui semua yang mungkin ada. Kita mempelajari yang ada saja tidak akan pernah selesai untuk menyebutkan sifat-sifatnya dan mendeskripsikannya. Keterbatasan dari ketidaktahuan merupakan karunia Allah SWT. Maka dari itu dalam belajar filsafat hendaklah jauhkanlah diri kita dari sifat sombong karena manusia hanya mampu mengadakan sedikit dari yang mungkin ada.
Sesuatu dikatakan ada jika ada di dalam atau di luar pikiran. Ada di dalam pikiran jika kita mampu untuk melihatnya dengan mata terbuka mampu menyentuh, mampu mendengar. Ada di luar pikiran jika sudah tidak mampu kita lihat, tetapi dapat kita mampu kita pikirkan. Adanya di dalam dan di luar pikiran didukung oleh aliran tertentu. Bagi Aliran realis dikatakan ada jika kita mampu melihat, mendengar, merasakan, menyentuh. Tokoh yang mendukung adalah Aristhoteles Bagi idealis dikatakan ada jika mampu disebutan dipikan dengan menganggap ada di dalam pikiran. Tokoh yang mendukung adalah Plato. Namun dalam membicarakan ada tentunya kita lihat dimensinya. Kita ambil contoh pada pembelajaran matematika. Dalam pembelajaran matematika kita harus mengetahui dimensinya. Kita harus tahu intuisi dan karatersiswa serta perkembangan pikiran siswa agar siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri. Jadi Jangan sampai sebagai guru kita jangan memaksakan pemikiran yang seharusnya belum semestinya siswa ketahui. Mulailah dengan matematika kontekstual untuk siswa SD. Jangan mentang-mentang kita merasa punya banyak ilmu maka siswa SD langsung diajarkan matematika definisi. Segala sesuatu harus ditempatkan sebagaimana porsinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar